Laman

Senin, 09 Mei 2011

SKRIPSI HUKUM

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kita kenal dengan UU No. 8 Tahun 1981 merupan pedoman dalam pelaksanaan serta praktek hukum pidana materil yang memuat peraturan tentang tata cara dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, acara pemeriksaan, banding ke pengadilan tinggi, serta kasasi dan PK ke Mahkama Agung. Patut kita ketahui bahwa definisi mengenai tersangka telah di jabarkan secara khusus di dalam KUHAP yakni pada bab VI yang terdiri dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68.
Ruang lingkup mengenai tersangka telah dirumuskan dalam Pasal 1 butir 14 dan 15, dalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa tersangka merupakan seseorang yang karena perbuatannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup di duga sebagai pelaku tindak pidana, tetapi walaupun dengan demikian seorang tersangka tidak dapat dijadikan sebagai obyek pemerasan. Pengertian seorang tersangka tetap mempunyai kedudukan tentang nilai-nilai hak asasi, harkat dan martabat sebagai manusia.
Pada prinsipnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengangkat dan menempatkan tersangka tetap memiliki hak asasi, serta mempunyai nilai berikut kedudukan yang luhur dan bermartabat sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Tersangka telah ditempatkan di KUHAP dalam posisi his entity and dignity as a human being, oleh karena itu tersangka patut diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Namun pelaksanaan penegakkan hukum terhadap tersangka di lapangan terkadang masih mengabaikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang statusnya melekat sejak manusia berada dalam kandungan.
HAM merupakan hak yang diberikan oleh Tuhan yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal, dan abadi yang berhubungan dengan harkat dan martabat manusia, dalam pandangan Indonesia sebagai negara hukum proses pencarian makna Hak Asasi Manusia (HAM) telah melalui proses sejarah yang panjang. Dalam perspektif historis, dapat ditemukan adanya beberapa perdebatan yang mengarah kepada upayah perumusan konsepsi HAM, antara lain dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebelum pra kemerdekaan tepatnya pada tahun 1945 pada waktu inilah kata-kata HAM menghilang, dan hanya dipergunakan secara limitatif di kalangan para ahli hukum, aktifis mahasiswa, dan aktifis HAM.   
Mengingat perjalanan HAM yang begitu panjang sudah seharusnya kita menjaga dan menghormati HAM dalam berbagai bidang, terlebih lagii dalam bidang aspek penegakan hukum, seperti yang kita ketahui bahwa KUHAP telah menetapkan peraturan yang mengedepankan tentang integritas harkat serta humanisme bagi tersangka yang notabenenya tetap memiliki nilai-nilai hak asasi manusia, tentu hal ini harus dibuktikan dengan memberikan hak-hak apa saja yang mesti diterima oleh tersangka. Pengakuan hukum yang tegas tentang Hak Asasi Manusia (HAM), serta jaminan terhindarnya seorang tersangka dari tindakan sewenang-wenang.dari aparat penegak hukum.
Hak-hak tersangka yang dimaksud misalnya, memberikan hak kepada tersangka untuk segera mendapatkan pemeriksaan pada tingkat penyidikan, memberikan kesempatan kepada tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di depan Pengadilan.
Demikian juga mengenai pembatasan jangka waktu penangkapan dan penahanan semuahnya ditentukan secara limitatif bagi tiap instansi dalam tingkat pemeriksaan. Bahkan terkait dengan masalah proses penangkapan dan penahanan aparat penegak hukum dalam hal ini wajib memberi tahu kepada pihak keluarga. Dari beberapa catatan yang terdapat dalam KUHAP kita dapat memahami bahwa pada dasarnya hukum memang harus ditegakkan, tetapi sejalan dengan itu Hak Asasi Manusia (HAM) wajib dijunjung tinggi, dan dihormati oleh siapapun, termasuk negara dengan perangkat hukumnya. Alangkah ironisnya kalau mekanisme yang ditempuh dalam upaya penegakkan hukum dilakukan dengan cara-cara seperti, pemerasan, perlakuan sewenang-wenang oleh aparat hukum, serta perlakuan diskriminaif yang tidak mencerminkan aparat penegak hukum yang bermoral.
Menurut Mardjono Reksodipuro mengatakan bahwa secara kongkrit HAM telah banyak di atur dalam perundang-undangan, seperti yang tercantum dalam ketetapan MPR No. XV11/MPR/1998, tentang Hak Asasi Manusia (HAM), pada intinya ketetapan MPR tersebut menugaskan pada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Di samping itu ketetapan ini juga menegaskan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.[1]
Ditegaskan pula bahwa penghormatan, penegakkan dan penyebarluasan HAM oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan penyuluhan, pewngkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang HAM dilaksanakan oleh suatu Komisi Nasional HAM yang ditetapkan melalui undang-undang. Ketetapan ini juga dilampiri oleh naskah HAM yang sistematikanya mencakup, antara lain :
-         Pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
-         Piagam Hak Asasi Manusi (HAM)
Sebagaimana kita ketahui di atas, sebelum diberlakukannya ketetapan tersebut, yakni pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah mengeluarkan Kepres No. 129 Tahun 1998, tentang rencana aksi nasional HAM 1998-2003, yang lazim disebut RAN HAM. Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun internasional, hal ini terlihat dengan dibuktikannya kehadiran Menteri Negara  Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional, yang kemudian digabungkan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia membuat RAN HAM ini harus disesuaikan. Pada saat penelitian ini disusun, proses penyempurnaan tersebut tengah dilakukan oleh suatu tim inter-departemen di Jakarta
Dalam Kepres No.129 Tahun 1998 di tegaskan.bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam suatu program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun. Untuk melaksanakan RAN HAM telah dibentuk suatu panitia nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, tugas panitia nasional yang dimaksud, antara lain :
-         Persiapan perangkat internasional di bidang HAM
-         Diseminasi informasi dan pendidikan di bidang HAM
-         Penentuan prioritas pelaksanaan HAM
-         Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah disahkan.
Sebagai bentuk tindak lanjut dari diberlakukanya Kepres No. 129 Tahun 1998, pada tanggal 28 September 1998 ditetapkanlah UU No. 5 Tahun 1998, UU ini menetapkan tentang pengesahaan Convention or Degrading Treatment or Punishment  (konvensi yang menentang penyiksaan, perlakuan, tidak manusiawi, atau penghukuman lain yang kejam yang merendahkan martabat manusia).
Berlandaskan pada ketetapan MPR No. XV11/MPR/1998 tersebut, pada tanggal 23 September 1998 diberlakukanlah UU. No. 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam undang-undang ini diatur mengenai hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia ditegaskan pula beberapa hal yang berkaitan dengan kewajiban dasar manusia, antara lain meliputi :
-         Hak untuk hidup
-         Hak berkeluarga, dan melanjutkan keturunan
-         Hak mengembangkan diri
-         Hak memperoleh keadilan
-         Hak atas kebebasan pribadi
-         Hak atas rasa aman
-         Hak atas kesejahteraan
-         Hak turut serta dalam pemerintahaan.
Sedangkan kewajiban dasar manusia yang diatur dalam UU HAM meliputi :
a.       Setiap orang yang berada di wilayah republik Indonesia wajib patuh dan taat pada peraturan-peraturan, dan hukum internasional mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah di terima oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
b.      Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
c.       Setiap orang wajib menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara
d.      Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
e.       Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Berdasarkan pertimbangan untuk menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta demi untuk memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaa aman bagi perorangan maupun masyarakat dalam semuah bidang khususnya pada bidang penegakan hukum, maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran terhadap HAM tersebut. Dari segi peraturan negara Indonesia telah merumuskan secara menyeluruh tentang nilai hak dasar serta hak-hak tersangka dan hak masyarakat di depan hukum, dan pemerintahan.
Kita berharap proses penegakkan hukum tidak lagi diwarnai dengan perilaku amoral, sehingga kita tidak lagi mendengar dan menyaksikan seorang tersangka yang ditendang atau dipukul pada saat menjalani proses pemeriksaan. Begitu pentingnya masalah mental dan moral harus diperhatikan, karena bukan produk hukum yang menjamin baik pelaksanaan hukum, tetapi yang lebih penting dalam hal ini faktor yang terpenting adalah manusia yang menjadi penegak hukum. Sejelek apapun produk hukum yang dibuat tetapi jika pelaksanaannya dijalankankan oleh aparat penegak hukum yang baik dan bermoral otomatis hukum menjadi lebih baik dan berkualitas. Jadi tepat bila ada adagium yang mengatakan geev me goede rechter, goede rechter comissarissen, goede officieren van justitie en geode politie ambtenaren, en ik zal met een slecfht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken.  Tentu ungkapan seperti ini merupakan barometer yang menjadi bukti bahwa begitu pentingnya masalah moral guna menjamin tegaknya hukum yang berkeadilan.
Terlepas dari permasalahan diatas kita juga tidak dapat menyangkal bahwa globalisasi dalam segala kehidupan bergerak begitu cepat, kita tidak dapat menghindari globalisasi ekonomi,sosial, budaya dan hukum. Untuk menghadapi proses globalisasi tersbut sudah barang tentu  ada benarnya untuk mengatakan  bahwa seagian rumusan  dan standar KUHAP sudah kurang mampu menampung dan menjembatani permasalahan yang begitu komplek yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat hal ini terbukti munculnya tuntutann agar KUHAP perlu dikoreksi, seperti penggantian lembaga pra peradilan menjadi hakim komisaris atau hakim investigasi yang wewenangnya lebih luas dan lebih terperinci.
Salah satu langkah demi mencapai keadaan yang dimaksud diatas, perlu adanaya aplikasi bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas perlu di dasarkan pada landasan-landasan, diantaranya pendekatan yang manusiawi, dan memahami rasa tanggung jawab, kedua landasan tersebut mempunyai makna yang cukup luas, landasan pendekatan secara manusiawi dapat diartikan bahwa ini merupakan landasan yang dikehendaki oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mewajibkan bagi pejabat penegak hukum melakukan pemeriksaan dengan cara pendeteksian yang ilmiah atau dengan metode scientific crime detection, yakni cara pemeriksaan tindak pidana dengan kematangan ilmiah, yang menjauhkan diri dari cara pemeriksaan konvensional dalam bentuk ; tangkap dan peras pengakuan dengan jalan penyiksaan fisik dan mental. Di dalam KUHAP hal ini tidak dibenarkan sudah saatnya bagi aparat penegak hukum mengasah jiwa, perasaan, penampilan, serta cara dalam menjalankan tugas dibekali dengan budi pekerti yang luhur, dan tanggap akan rasa keadilan.
Keinginan untuk mewujudkan sistem penyidikan ilmiah (Scientific Investigation method) seringkali terganjal oleh beberapa hambatan yang cukup problematik, hal ini disebabkan sering ditemukannya tindakan menyimpang dari pejabat penyidik dalam melakukan proses penyidikan, diantaranya tindakan penyiksaan yang bertujuan untuk memperoleh sebuah pengakuan dari seorang tersangka.Tidak jarang akibat tindakan penyiksaan tersebut membawa dampak pada kejiwaan pada diri tersangka, baik perlakuan yang mengakibatkan luka-luka serius bahkan sampai mati.
Tidak sedikit contoh akibat tindakan penyiksaan tersebut, sebut saja kasus yang baru-baru ini disorot oleh berbagai media masa yang merupakan kisah nyata tindak kekerasan aparat penegak hukum dalam melakukan proses penyidikan terhadap tersangka, sesorang yang sebenarnya tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana terpaksa harus menagakui karena tidak tahan karena penyiksaan fisik maupun mental yang dilakukan oleh penyidik. Adalah Hambali alias Kemat bersama kedua orang temannya telah divonis bersalah telah melakukan tindak pidana pembunuhan hukuman yang diberikanpun tidak tanggung-tanggung, yakni 17 tahun penjara. Kasus ini berawal dengan terbunuhnya Asrori pada tanggal 22 September tahun 2007 yang mayatnya ditemukan di kebun tebu desa kalang semanding kecamatan Perak kabupaten Jombang (Jawa Timur), berdasarkan novum yang telah ditemukan baru-baru ini ternyata kasus pembunuhan yang terjadi atas diri Asrori alias Aldo pelakunya ternyata bukan Hambali dan kedua temannya, tapi orang lain yang melakukan yakni Ryan[2]

Kasus salah tangkap seperti yang dialami oleh Imam Hambali  itu merupakan contoh kecil, masih banyak kasus-kasus lain yang di duga belum terungkap.Terkait dengan masalah penangkapan terhadap tersangka hendaknya harus dilakukan dengan tidak mengabaikan asas kehati-hatian serta tetap berorientasi pada keseimbangan antara kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat serta penegakan penertiban hukum pada pihak lain. Legalitas tindakan aparat penegak hukum harus selalu memperhatikan terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum positif yang berlaku seperti yang telah diatur dalam KUHAP.
 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan karya agung bangsa Indonesia telah jelas meletakan Hak Asasi Manusia (HAM) terutama hak tersangka secara memadai. Sungguh ironi jika dalam perjalanannya KUHAP tidak mampu memberikan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. KUHAP pada dasarnya merupakan payung hukum acara di Indonesia yang telah jelas mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan harus diakui bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan sebagai monitor guna mengoreksi tentang pengalaman praktek di dunia peradilan apakah penerapannya sudah berjalan sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), tidak hanya itu juga KUHAP sebagai dasar untuk memberikan legalisasi dalam proses hukum tidak jarang kita sering mendengar proses penangkapan, pemeriksaan yang selalu bernuansa kekerasan
Kewenangan yang telah digariskan oleh KUHAP kepada penyidik hal itu dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga negara dalam satu-kesatuan harkat dan martabat yang utuh berubah, justru kta tidak menghendaki status KUHAP yang merupakan legalisasi tentang tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum berubah fungsi menjadi alat penindas bagi tersangka yang menjadi pelaku tindak pidana.
 KUHAP telah memberikan batasan dengan asas-asas yang harus dipegang teguh oleh seorang aparat penegak hukum, asas-asas tersebut antara lain:
a.      The legality principle
b.      The presumption of innocence
c.       The rule for errest and accusation
d.      The rule on detection pending trial
e.       The minimum rights accorded to accused to prepare his defens
f.        The rule examination during preliminary investigation and during trial
g.      The independence of court justice and examination in publik trial
h.      The rules on appeal and review against a court decision
Tidak bisa dipungkiri bahwa penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana banyak terjadi di tingkat penyidikan dan penuntutan karena pada tingkat ini seorang tersangka/terdakwa rentan diperlakukan sebagai obyek penyidikan misalnya seorang penyidik untuk memperoleh pengakuan dari seorang tersangka tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan (violence) dan penyiksaan (tortue). Menyikapi masalah ini sebenarnya KUHAP secara implisit telah mencoba memberikan perlindungan untuk menghindari perlakuan kasar yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Upaya untuk menghindari tindakan menyimpang, seperti penyiksaan dalam proses penyiksaan sebenarnya telah ditoleransi dan merupakan bagian dari tugas penyusun undang-undang tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut merupakan sebagian hak dari seorang tersangka. Hal ini diperkuat dengan adanya Pasal 52 KUHAP yang menyatakan bahwa,” Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
Selain itu, Pasal 117 KUHAP menyatakan hal yang sama bahwa” keterangan tersangka dan saksi kepada penyidik diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”. Guna memperoleh hasil penyidikan yang tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku sudah sepantasnya seorang tersangka harus dijauhkan dari rasa takut, oleh karena itu bagi para aparat penegak hokum wajib mencegah adanya paksaan atau tindak kekerasan dalam melakukan proses penyidikan. 
Menurut Yahya Harahap menyatakan bahwa pasal 52 dan Pasal 117 KUHAP pada prinsipnya memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Mengenai keterangan tersangka ada suatu terminologi yang kita kenal the right of non self incrimination, yakni suatu hak yang dimiliki seorang tersangka untuk tidak mempersalahkan dirinya sendiri. Artinya keterangan tersangka hanya dapat dipergunkan bagi dirinya sendiri, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 189 ayat 3 KUHAP, karena dalam perundang-undangan hukum acara pidana kita yang baru ini tentang adanya suatu pengakuan tersangka tidak bias dipergunakan sebagai bentuk alat bukti lagi, hal ini dapat kita lihat bentuk pengakuan menempati urutan terakhir sebagai alat bukti, seperti dalam Pasal 184  ayat (1) KUHAP dengan penyebutan keterangan terdakwa, bukan suatu pengakuan terdakwa3.

Aparat penegak hukum sudah selayaknya memahami keberadaan mengenai landasan memahami rasa tanggung jawab, karena pada umunya landasan ini berhubungan dengan tindakan penegakkan hukum karena yang mereka hadapi adalah manusia, ketebalan tentang rasa tanggung jawab harus di miliki oleh pejabat penegak hukum guna menumbuhkan dimensi pertanggungjawaban terhadap diri sendiri, kepada masyarakat, serta pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Landasan-landasan seperti inilah yang mampu menopang kewibawaan dan citra penegakan hukum, yang bisa mengembalikan citra kemurnian penegakan hukum yang selama ini sering mendapat citra buruk oleh sebagian kelompok anggota masyarakat, mulai dari adanya pendapat tentang adanya perampasan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), pemaksaan, dan penganiayaan.
Semakin tinggi kualitas moral aparat penegak hukum, secara otomatis hal ini akan membawa perubahaan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat tentu pasti akan sadar bahwa betapa pentingnya jajaran penegak hukum guna menciptakan dan melindungi hak dan kewajiban masyarakat itu sendiri sebagai subyek hukum dan pencari keadilan.
KUHAP merupakan hasil karya bangsa Indonesia harus ada upayah bentuk pembaharuan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang tetap menghormati dan menyuarakan hak-hak universal manusia, tentunya dengan adanya pembaharuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita berharap keadaan sebelum bangsa Indonesia merdeka tidak akan terulang lagi, di mana masyarakat Indonesia hidup di bawah tekanan yang di terapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Betapa banyak masyarakat yang menjadi korban pengalaman masalalu ketika di bawah peraturan HIR, seperti penangkapan berkepanjangan tanpa akhir, banyak orang yang mendekam dalam tahanan, tapi orang dan berkasnya tidak pernah sampai di Pengadilan, atau berkas perkaranya sudah bertahun-tahun sudah di limpahkan ke Pengadilan, namun perkaranya di biarkan tanpa di sidangkan sedangkan terdakwanya sudah kurus kering karena mendekam bertahun-tahun di tahanan, termasuk cara penangkapan atau penahanan tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan mengenai kejahatan yang di sangkakan. Pasti hal ini berakibat kepada pihak keluarga yang di tahan tentu merasa kebingungan dalam menghadapi tindakan penahanan yang tidak benar tersebut.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa pada jaman pra kemerdekaan masyarakat Indonesia telah menjadi korban sistem peraturan yang di terapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, segala bentuk pendekatan yang dilakukan pemerintah kolonial sangat tidak manusiawi, sistem pendekatan hanya di dasarkan pada metode semuah cara adalah halal untuk memperoleh pengakuan.
Untuk menghindari kondisi yang pernah terjadi di era pra kemerdekaan KUHAP telah menciptakan mekanisme dan sistem korelasi antara aparat penegak hukum yang bersifat saling mengawasi antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya, dimana sebagian perannya di serahkan ke lembaga pra peradilan, yang berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan maupun tindakan lain yang dilakukan penyidik atau penuntut umum. Lembaga pra peradilan mempunyai fungsi yang cukup signifikan demi membatasi kecendrungan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penyidik ataupun penuntut umum.
Apalagi perubahan-perubahan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak lepas dari landasan konstitusional yang notabenenya adalah merupakan sumber ketentuan kaidah hukum, KUHAP hanya sebatas merupakan penjabaran lebih lanjut dari sumber pokok yang terdapat di dalam perundang-undangan negara kita.
Sedangkan atruran pokok yang terdapat pada Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004, juga telah menentukan antara lain :
1.      Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4 ayat (1)
2.      Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) KUHAP, seperti :
a.       Hak tersangka/terdakwa untuk segera mendapatkan pemeriksaan dan persidangan di Pengadilan (Pasal 50)
b.      Hak tersangka/terdakwa untuk secepatnya berkas perkara di limpahkan ke pengadilan negeri dan ke pengadilan tinggi
c.       Hak tersangka/terdakwa untuk mempercepat proses perkara dengan biaya yang lebih ringan.
Hal di atas merupakan pokok sumber konstitusional di KUHAP dari dasar pokok ini dapat di jelaskan lebih lanjut seperti yang telah dirumuskan dalam Pasal-Pasal di KUHAP, dalam penjabaran kodifikasinya selalu dikaitkan dengan landasan filosofis Pancasila dan landasan operasional GBHN, khususnya tap MPR No.1V tahun 1978 hal ini bertujuan agar pelaksanaannya tetap konsisten dan sesuai dengan landasan yang dimaksud. Tujuan di sisi lain hal itu dimaksudkan untuk menyesuaikan implementasi yang terdapat di dalam KUHAP agar dapat menciptakann ketertiban dan perlindungan bagi masyarakat dengan memperioritaskan harkat dan martabat seorang tersangka ataupun terdakwa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Sebutkan dan jelaskan apa saja yang menjadi hak-hak tersangka, sebutkan juga Pasal-Pasal yang mengaturnya
2.      Sebutkan dan jelaskan ketetapan MPR yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan HAM
3.      Uraikan dan jelaskan mengapa setiap kali penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka harus memperhatikan nilai-nilai HAM

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Berdasarkan latar belakang rmasalah yang telah di uraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
-         Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, dan terperinci mengenai masalah yang berkaitan dengan hak-hak tersangka
-         Untuk mendapatkan informasi sekaligus memahami tentang sudut pandang ilmu hukum pidana mengenai status dan kedudukan tersangka di mata hukum
-         Untuk mengetahui cara-cara penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka
2.      Sedangkan kegunaan penelitian ini, adalah :
-         Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Strata Satu (S1), di Fakultas Hukum Universitas Wiralodra
-         Sebagai bentuk sumbangsi untuk memperkaya wawasan ilmu pengetahuan di bidang hukum
-         Sebagai wujud kepedulian guna mensosialisasikan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya bagi para pembaca, dan umumnya bagi masyarakat demi mewujudkan suatu komunitas masyarakat yang sadar akan pentingnya peran dan fungsi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

D.    Metodologi Penelitian
1.      Tehnik Penelitian
a.       Data Primer, artinya penulis dalam memperoleh data dalam penyusunan skripsi ini melalui cara interview dengan pihak-pihak yang terkait
b.      Data Skunder, artinya Penulis dalam megumpulkan data-data dengan cara riset di perpustakaan, dan studi dokumenter.
2.      Jenis dan Sumber Data
Data yang disajikan dalam penyusunan Proposal skripsi ini berdasarkan studi dokumenter, kajian pustaka, serta melalui interview dengan pihak-pihak terkait.
3.      Pengumpulan  dan Tehnik Analisa Data
Data-data yang penulis peroleh dalam penyusunan proposal skripsi ini adalah dengan cara riset di perpustakaan, sedangkan tehnik analisa data yang penulis  sajikan dalam penyusunan proposal ini pada awalnya berbentuk deskriptif, kemudian dianalisa dan pada bagian akhir dilakukan suatu penarikan dan kesimpulan secara umum.
E.     Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan ini terdiri dari 5 bab, antara lain :
Bab 1      :  PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Bab II     : TATA CARA PEMERIKSAAN PENYIDIKAN
Dalam bab ini, penulis menjelaskan mengenai pemeriksaan terhadap tersangka, pengajuan keberatan atas penahan penyidik, mengajukan pemeriksaan penahanan kepada pra-peradilan, mengajukan saksi yang menguntungkan, dan pemeriksaan terhadap saksi
Bab III    :  TINJAUAN UMUM PERAN DAN FUNSI POLISI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai sistem peradilan pidana, masalah independen, dan aspek supervisi
Bab IV    : LANDASAN,ASAS DAN PENERAPAN PASAL 56 KUHAP
Dalam bab ini penulis menginterpretasikan mengenai landasan dan prinsip KUHAP, penerapan pasal 56 KUHAP, dan asas-asas dalam KUHAP
Bab V     : PENUTUP
Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran


[1] Reksodipuro, Mardjono. 2001.  Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana : Jakarta Pusat Pelayanan dan Keadalan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia halaman 25
[2] Kompas, Kasus Salah tangkap, 6 September : 2008 halaman 6
3. Harahap, M.Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan KUHAP Dalam Penyidikan Dan Penuntutan Jakarta : Sinar Grafika

Tidak ada komentar: